BERUBAH DIANTARA PERUBAHAN I

KASIH KARUNIA MEMBUAT KITA BERUBAH

TERGILA-GILA PADA YESUS

KEHIDUPAN YANG BERBUAH

JANGAN KAMU MENGHAKIMI, SUPAYA KAMU TIDAK DIHAKIMI




Hari ini, kita mempelajari pengajaran dari Tuhan Yesus di dalam Matius 7:1-5. Dan sebagaimana yang kita baca, Tuhan Yesus berkata:







"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."

Di sini Tuhan Yesus memberi kita beberapa pengajaran yang sangat penting berkaitan dengan hubungan antara sesama di dalam gereja. Minggu lalu, kita sudah membahas tentang hubungan antara setiap orang Kristen dengan Allah. Dan hari ini, Tuhan Yesus membawa perhatian kita ke arah lain, yakni hubungan antara sesama. Kedua hal ini, hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita antara sesama, secara langsung saling berkaitan. Apa itu hubungan yang sejati di antara orang Kristen atau haruskah setiap orang Kristen saling berhubungan di antara sesama mereka? Di sini Ia memberi kita peringatan dan dorongan.

Orang yang Menghakimi akan Menghadapi Penghakimannya Sendiri
Pertama, peringatannya adalah bahwa kita seharusnya tidak menghakimi. Berbicara soal menghakimi, saya teringat pada satu kisah yang menggambarkan sifat dari penghakiman itu. Kisah ini tentang seorang kritikus seni yang sudah lanjut usia. Dia cukup ahli di dalam menilai dan mengkritik lukisan. Sudah banyak waktu yang dihabiskannya untuk mempelajari kritik seni dan sangat banyak buku tentang kritik seni yang sudah dibacanya, sampai-sampai kesehatan matanya terganggu. Pada suatu hari ia mengunjungi sebuah pameran lukisan yang besar, dan sesampainya di tempat pameran ia baru menyadari bahwa kacamatanya tertinggal. Jadi ia harus memelototi lukisan di sana dari jarak yang sangat dekat. Lalu ia mulai menilai lukisan-lukisan yang dipamerkan. Tanpa henti ia mencela setiap lukisan yang diamatinya, yang ini salah, yang itu tidak sesuai proporsinya dan yang lain lagi tidak jelas gayanya. Setiap lukisan mendapat giliran untuk dicela. Satu hal yang lucu dari para kritikus seni adalah seringkali mereka sendiri tidak pernah berkarya tetapi mereka fasih dalam mengkritik karya orang lain. Akhirnya kritikus tua ini sampai pada sebuah pigura besar berwarna keemasan dan ia mendekatkan wajahnya sedemikian rupa untuk mulai mengamati gambar yang ada di dalam pigura itu. Sesudah cukup lama memandang, ia lalu mulai menyatakan pendapatnya, "Potret ini buruk sekali! Bagaimana mungkin sebuah lukisan yang sangat buruk dapat dipamerkan di galeri yang berkelas? Potret ini benar-benar tidak memiliki proporsi dan wajah yang ditampilkan pun sangat buruk". Dan ia menjadi sangat geram lalu mulai mencela pihak galeri yang sudah memamerkan lukisan potret yang luar biasa buruknya. Pada titik ini, saya rasa, beberapa dari Anda mungkin sudah dapat menebak apa yang sedang ia amati di dalam pigura itu. Yang dia amati adalah sebuah cermin, dan potret yang ia cela di dalam cermin itu adalah wajahnya sendiri. Ketika ia sedang memarahi pihak galeri, istrinya berkata, "Sayang, sabar dulu. Apa yang sedang kamu lihat itu sebuah cermin." Demikianlah, pada saat ia sedang mengkritik, pada saat ia mengira sedang mengkritik lukisan karya orang lain, ia mengakhirinya dengan mengkritik diri sendiri dan memamerkan kebodohannya.

Pelajaran dari perikop ini sebetulnya adalah, sambil Anda menghakimi orang lain, Anda sedang menghakimi diri Anda sendiri. Dan Tuhan Yesus juga menyajikan contoh yang sangat lucu di dalam ayat-ayat tersebut. Tuhan Yesus berkata, "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu", selumbar adalah benda yang sangat kecil, "kamu sangat mampu melihat selumbar di mata saudaramu tetapi kamu tidak mampu," di sini Tuhan Yesus menggunakan gambaran yang sangat lucu, "melihat balok di matamu". Balok yang dibicarakan ini adalah balok yang biasa dipakai sebagai penyangga atap. Biasanya berasal dari batang utama sebuah pohon yang sisi-sisinya dipotong persegi dan dipasang sebagai tiang utama. Tuhan Yesus gemar memakai kata yang dilebih-lebihkan, sehingga perbedaan yang sangat menyolok itu akan membuat gambaran yang diberikan menjadi sangat jelas. Gambaran seperti itu sangat digemari oleh para kartunis karena sangat mengena dengan pelajaran yang sedang diberikan.

Harus kita ingat selalu bahwa kita ini adalah refleksinya dari Tuhan Yesus, karena kita adalah Tubuh Kristus, diciptakan serupa dan segambar denganNya, dan jangan lupakan juga kita ditebus oleh DARAH YESUS, menyatu dengan Tubuh dan Darah Kristus maka apabila kita menghakimi sama saja dengan kita menghakimi Kristus, sadarilah itu

Ingat juga wanita pelacur yang dihakimi, maka apabila engkau orang berdosa janganlah kau hakimi sesamamu, seperti Tuhan katakan "barangsiapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang melempar pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" artinya siapa diantara kamu yang tidak pernah berdosa ? Maka jangan engkau menghakimi.

Menghakimi - Cerminan Sikap Merasa Unggul
Mari kita perhatikan lebih teliti lagi pengajaran yang disampaikan oleh Tuhan Yesus ini. Pertama, Tuhan Yesus berkata, "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi." Menghakimi merupakan suatu kewenangan, kewenangan dari penguasa. Seorang hakim akan bertindak sebagai orang yang memiliki kewenangan atas diri Anda. Jika Anda berbuat salah, pemerintah akan memanggil Anda, atau menyeret Anda ke pengadilan, atau jika ada dua orang yang berselisih, mereka membawa persoalan tersebut kepada pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi. Hakim merupakan perwujudan dari pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi. Jadi pada saat Tuhan Yesus berkata, "Jangan menghakimi", yang Ia maksudkan adalah, setiap orang dari antara kita tidak boleh menempatkan diri di atas orang lain. Ini adalah persoalan yang sangat mendasar di dalam hubungan sesama manusia, setiap orang ingin menganggap bahwa dirinya sendiri lebih baik dari orang lain dan dengan demikian merasa berhak untuk menghakimi orang lain. Contohnya, jika Anda berkata bahwa seseorang itu sombong, Anda secara tidak langsung sedang berkata bahwa Anda tidak sombong dan Anda berada di dalam posisi mengumumkan seseorang yang lain sebagai sombong. Jika Anda menyatakan seseorang itu sebagai salah, Anda sesungguhnya sedang berkata bahwa Anda lebih baik dari dia karena ia tidak tahu apa yang salah tapi Anda tahu apa yang salah. Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa sikap yang sedemikian di antara orang Kristen merupakan sumber masalah di dalam gereja. Di sini Tuhan Yesus sedang menangani suatu sikap. Sikap merasa lebih unggul dari orang lain.

Alkitab mengajarkan bahwa kita harus belajar untuk saling merendahkan diri antara satu dengan yang lainnya, tunduk terhadap satu dengan lain, bukannya berlaku seperti orang penting di hadapan yang lainnya. Itu sebabnya di dalam Yohanes 13, Tuhan Yesus membasuh kaki murid-muridNya dan mengatakan bahwa apa yang sudah Ia lakukan atas mereka harus mereka lakukan pula terhadap orang lain. Membasuh kaki orang lain berarti menjadi budak orang itu karena hal itu adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang budak bagi tuannya; membasuh kaki majikannya. Itu sebabnya mengapa di dalam Filipi 2:3 dan Efesus 5:21 sekaligus, Paulus berkata "Rendahkanlah dirimu seorang akan yang lain". Jangan malah berusaha untuk menjadi tuan atas orang lain, jadilah hamba bagi orang lain. Untuk tujuan itulah kita dipanggil olehNya. Saya meminta Anda untuk memikirkan bahwa kalau di dalam gereja kita benar-benar dapat hidup seperti ini, benar-benar merendahkan diri di hadapan orang lain dengan setulus hati, seperti apa jadinya perubahan perilaku jemaat di dalam gereja? Seperti apa jadinya gereja jika kita tidak melirik ke arah orang lain dan menilai bahwa kita tidak lebih buruk dari pada dia? Mengapa kita tidak mengekang hasrat untuk membandingkan diri ini, bukankah hal itu sepenuhnya wewenang Allah? Perilaku yang ingin menang sendiri ditujukan untuk menaikkan harga diri, ego kita, agar kita merasa bahwa diri kita memiliki arti di dunia ini. Namun manusia rohani tidak peduli dengan urusan nilai harga dirinya. Ia hanya memperhatikan apa yang Allah nilai dari dirinya dan hal itu membawa dampak yang kekal.

Tuhan Menghargai Orang yang Rendah Hati
Ada satu pelajaran yang diberikan oleh Tuhan kepada saya sepanjang waktu yaitu, "Jika kita ingin menjadi yang terbesar, maka kita harus menjadi yang terkecil di antara yang lain," menjadi hamba bagi yang lain. Jika Anda ingin menjadi yang terbesar di mata Allah, maka Anda harus menjadi yang terkecil di antara saudara-saudara seiman. Semakin Anda merasa berharga di dalam penilaian pribadi, atau di mata orang lain, semakin tidak berarti diri Anda di mata Allah. Mari kita ingat kembali pesan Natal pada waktu kita berkumpul bersama di saat-saat yang berbahagia ini. Saya mengingatkan akan hal itu karena ada satu kenyataan yang luar biasa yaitu bahwa Tuhan Yesus, jika kita cermati pelayananNya, selalu menunjukkan kepedulianNya kepada orang-orang yang dianggap tidak berarti oleh masyarakat dan tidak pernah tertarik pada mereka yang dipandang sebagai orang penting di tengah masyarakat. Ia menghabiskan saat senja bersama penduduk Samaria yang dijauhi oleh orang Yahudi dan bersama perempuan Samaria di pinggir sumur namun Ia tidak mengindahkan Herodes sedikitpun. Raja Herodes tidak dapat mendengarkan sepatah katapun dari Dia. Perhatikan juga bagaimana Yesus berkata kepada ahli-ahli Taurat yang mengira diri mereka sebagai orang-orang yang sangat terpelajar. Sebagai contoh, kita lihat dari dalam Matius 23, "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik". Padahal ahli-ahli Taurat adalah mereka yang mendalami kitab suci. Namun lihatlah betapa lembutnya Ia kepada mereka yang sakit, lemah, remuk hati; orang-orang yang dipandang sepele oleh masyarakat.

Sikap Yesus inilah yang harus kita teladani. Sejujurnya saya katakan, selalu timbul rasa muak jika saya melihat gereja memberi penghormatan kepada mereka yang dipandang penting oleh orang-orang dunia. Saya teringat pada seorang pendeta yang saya kenal di Inggris pada waktu saya belajar di sana. Saya beribadah di sana dan kemudian berkenalan dengannya. Segalanya biasa-biasa saja pada awalnya. Belakangan ia mengetahui siapa ayah saya, dan sikapnya terhadap saya segera berubah. Bukan sekadar keramah-tamahan yang ditunjukkannya, namun sudah menjurus ke arah mengagung-agungkan saya. Sangat memuakkan. Secara rohani saya tidak menjadi lebih unggul hanya karena kedudukan ayah saya. Keberadaan ayah saya pada dasarnya tidak memberi pengaruh apa-apa bagi kedudukan saya di tengah jemaat dalam pandangan Allah. Sekalipun ayah saya adalah seorang Kaisar, tetap tidak membuat saya berbeda di mata Allah.

Yang kita lihat sekarang ini adalah perilaku banyak sekali orang Kristen yang seperti orang dunia. Dan jika mereka datang ke gereja, mereka menjadi orang-orang penting karena mereka adalah orang penting di luar gereja. Kita tidak meneladani bagaimana Allah menilai orang. Saya menjumpai hal semacam ini sering terjadi di dalam gereja. Wah, seorang dokter pastilah orang yang spesial. Bagi saya seorang dokter bukan apa-apa. Yang saya perhatikan hanya kerohanian orang itu. Saya menyebutkan dokter karena saya melihat bahwa di Hong Kong, para dokter memiliki kedudukan yang khusus di tengah masyarakat, untuk alasan yang belum saya ketahui. Mungkin karena mereka memiliki penghasilan yang lebih besar ketimbang orang lainnya. Jadi kita dapat melihat di sini bahwa kita sudah sangat dipengaruhi oleh cara pandang orang dunia, bahkan termasuk pendeta karena banyak yang belum belajar untuk berpikir seperti cara Yesus berpikir. Dengan demikian, kita menilai orang berdasarkan kedudukan mereka di dunia. Saudara-saudaraku, hal ini sangat meracuni kehidupan gereja.

Kita harus belajar untuk menghormati terutama mereka yang paling rendah di antara kita. Orang-orang penting itu sudah mendapat penghormatan yang cukup dari dunia dan Anda tidak perlu menambah besar kepala mereka. Jadi kita harus miliki sikap dasar yang satu ini, perubahan sikap seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, yaitu kita tidak bergiat untuk meninggikan diri atau sebaliknya menjilat orang lain.

Tidak Menghakimi bukan Berarti Membutakan Mata terhadap Dosa
Di sini kita perlu mempertanyakan, demi pemahaman yang lebih tepat pada ajaran Tuhan Yesus, ketika Tuhan Yesus berkata "Jangan menghakimi", selain dari persoalan sikap, hal apa lagi yang Ia maksudkan? Pertama-tama perlu ditekankan sekali lagi bahwa hal utama yang Ia maksudkan adalah perkara sikap ketimbang tindakan. Jika Anda memiliki sikap yang benar, maka Anda tentu tidak mau melakukan hal yang salah. Namun sekalipun Anda sudah melakukan tindakan yang benar, belum tentu sikap Anda benar pula pada saat melakukan hal tersebut. Jadi ketika Tuhan Yesus berkata "Jangan menghakimi", apakah Ia sedang mengajarkan kita, sebagai contoh, untuk membutakan mata terhadap dosa yang terjadi di tengah jemaat? Ketika dosa terjadi di dalam gereja, saat ada perkara kesalahan yang serius terjadi di dalam jemaat, sebagai contoh, memberi penghormatan karena seseorang adalah orang penting di dunia, atau dosa yang lebih parah daripada itu, apakah kita harus membutakan mata kita dan berkata, "Saya tidak boleh menghakimi. Orang itu boleh berbuat dosa, semua orang boleh berbuat dosa, itu semua bukan urusan saya"? Atau mungkin ada seorang nabi palsu yang datang dan mengajarkan kesesatan kepada kita, haruskah kita berkata, "Saya tidak dapat menghakimi, biarkan saja dia mengajar sesuka hatinya"? Atau jika ada serigala berbulu domba yang masuk ke tengah jemaat dan memangsa domba-domba, kita hanya berkata, "Tidak dapat kita menghakimi dia. Kita menyebut dia serigala berbulu domba, berarti kita sudah menghakimi dia. Lebih baik saya tutup mulut."

Sudah pasti Tuhan Yesus tidak menghendaki kita untuk menjadi seperti itu. Ia menyuruh kita untuk berwaspada, mampu mengenali serigala yang menyusup dengan memakai bulu domba. Pimpinan gereja, khususnya, memiliki tanggungjawab yang berat dalam hal ini. Dan ketika Tuhan Yesus berkata, "Jika orang lain berbuat dosa terhadap kamu", apa yang akan Anda lakukan? Anda akan berkata, "Biarkan saja, saya tidak mau menghakimi dia". Apakah ini sikap yang benar? Apakah tindakan Anda membantu menyelamatkan dia, jika Anda menutup mata terhadap dosa yang sudah terjadi? Tidak sama sekali, di dalam Matius 18:15 dan selanjutnya, Tuhan Yesus berkata, "Jika ada saudaramu yang berbuat dosa terhadap kamu, maka kamu harus mendatangi dan menegurnya, katakanlah 'Saudaraku yang kekasih, engkau sudah berbuat dosa. Apa yang engkau lakukan itu tidak benar'". Jika ia tetap tidak mau mendengar, maka, "bawalah seorang atau dua orang lagi saksi untuk berbicara kepadanya". Dan Jika ia masih tidak mendengar maka perkara ini harus dibawa ke tengah jemaat. Dan jika ia tetap tidak mau mendengar teguran dari jemaat, maka gereja akan mengucilkan dia, dan dia akan dipandang sebagai orang yang tidak percaya.

Jadi kita melihat bahwa perkataan Tuhan Yesus "Jangan menghakimi" tidak dimaksudkan agar kita menutup mata terhadap dosa. Lebih dari itu, khususnya bagi para pengajar, ada tanggungjawab yang besar untuk bertindak melawan dosa, melawan dosa yang hendak menjerat jemaat secara keseluruhan. Saya teringat pada waktu saya sedang berbicara menentang dosa di dalam jemaat, ada satu saudara yang datang dan berkata kepada saya, "Tampaknya Anda memiliki kesombongan yang cukup tinggi untuk menghakimi gereja". Saudara yang terkasih ini tampaknya belum mepelajari Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama kita melihat para nabi, hamba-hamba Allah, berseru kepada segenap bangsa Israel, mengutuk dosa-dosa yang dilakukan oleh bangsa Israel. Tentu saja orang Israel tidak akan mencintai nabi-nabi tersebut karena teguran mereka yang keras itu. Yeremia dilemparkan ke dalam lubang dan diharapkan mati di sana, untunglah ada orang yang datang dan menolongnya. Bangsa Israel membenci para nabi karena mereka berteriak keras terhadap dosa-dosa.

Berbicara dengan Sikap yang Dilandasi oleh Kasih dan Kepedulian yang mendalam
Hal paling aneh yang tampak dari mereka yang mencela karena keluarnya teguran terhadap dosa-dosa di dalam jemaat adalah para pencemooh itu sendiri merupakan orang-orang yang sangat kritis di dalam gereja. Perbedaan antara dua orang di dalam gereja bukanlah pada apa yang mereka lakukan tetapi pada sikap yang mendasari tindakan mereka. Yang satu berbicara menentang dosa karena kasih dan kepeduliannya yang mendalam terhadap jemaat. Namun sayangnya di dalam gereja ada banyak orang yang mengidap apa yang oleh para psikolog disebut sebagai 'inferiority complex (masalah kejiwaan akibat kurangnya rasa percaya diri, pent.)' dan mereka merupakan orang-orang yang sangat kritis karena mereka berhasrat sekali untuk meninggikan diri, mereka sangat berhasrat untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Dan orang-orang semacam ini gemar mengkritik orang lain di dalam gereja, mereka mengincar orang-orang tertentu di dalam lingkungan gereja yang membuat mereka merasa diri mereka sebagai orang yang paling benar. Orang-orang tersebut mengincar para tua-tua, para pimpinan dan termasuk pendeta gereja itu sendiri. Mereka dapat berkata kepada yang lainnya, "Lihat, saya bahkan mengkritik pendeta. Hal yang tidak akan berani engkau lakukan!" Di sini kita dapat membuat perbedaan berdasarkan sikap. Pertanyaannya adalah niat apa yang melandasi ucapan Anda? Seringkali Anda menyembunyikan niat yang sesungguhnya atau mengapa Anda mengucapkan sesuatu hal. Jika kita mencela seseorang, kita semua gemar berkilah bahwa hal itu demi kebaikan orang itu sendiri. Tetapi Tuhan Yesus sudah memperingatkan kita untuk berwaspada terhadap sikap kita.

Jadi ketika Tuhan Yesus berkata "Jangan menghakimi", Ia tidak menyuruh kita untuk membutakan mata terhadap dosa namun kita harus menyerang dosa dengan sikap yang benar. Lebih dari itu, rasul Paulus berkata kepada kita bahwa para pimpinan gereja memiliki tanggungjawab untuk menghakimi jemaat. Apakah lalu kita mendapati suatu pertentangan antara ucapan Paulus bahwa "ia menghakimi" dan di pihak lain Yesus berkata, "Jangan menghakimi"? Di dalam 1 Korintus 5:3, rasul Paulus berkata, "Telah menjatuhkan hukuman atas dia". Yaitu terhadap orang yang telah melakukan satu dosa besar di dalam jemaat; melakukan hubungan seksual dengan anggota keluarga sendiri. Paulus di sini mengumumkan penghakiman dan menjatuhkan hukuman atas orang yang melakukan dosa yang mengerikan ini. Bagaimana mungkin Paulus menjatuhkan hukuman padahal Tuhan Yesus berkata "jangan menghakimi"? Itulah sebabnya mengapa kita perlu memahami poin penting yang pertama dari pernyataan itu. "Tidak menghakimi" menurut Tuhan Yesus berkaitan erat dengan masalah sikap.

Poin yang kedua perlu kita pahami sejalan dengan penelaahan kita terhadap ajaran Tuhan adalah melihat konteksnya secara keseluruhan. Yesus berkata kepada murid-muridNya untuk tidak menghakimi, namun di dalam lingkungan gereja ada beberapa orang yang diberi tanggungjawab besar untuk menghakimi. Jadi, tidak menghakimi merupakan satu pedoman umum, namun ada beberapa orang di dalam gereja, seperti tua-tua dan para pemimpin yang lain yang memegang tanggungjawab untuk menghakimi sebagaimana contoh yang terdapat di dalam 1 Timotius 5:17. Tetapi Anda mungkin berkata bahwa jika para pemimpin boleh menghakimi sementara yang lain tidak maka itu menjadi tidak adil. Mari kita lihat lagi pengajaran Tuhan, yaitu jika Anda menghakimi maka Anda akan menghadapi penghakiman dari Allah. Para tua-tua dan orang-orang yang diberi tanggungjawab oleh Allah untuk menghakimi, bukanlah orang-orang yang bertindak sembarangan dalam melakukan tugasnya, penghakiman hanya dilakukan jika memang benar-benar diperlukan. Setiap orang, pendeta ataupun tua-tua, yang tidak mengasihi dan menyayangi jemaatnya tidak layak untuk menjadi pemimpin jemaat. Bagi orang-orang seperti itu, tanggungjawab penghakiman tidak layak mereka emban.

Dalam hal menghakimi. Kata "hakim" di sini dipahami dalam pengertian mengutuk, yaitu menjatuhkan hukuman ke atas seseorang atau menetapkan hukuman yang akan dijatuhkan atas seseorang. Jadi kita dapati di sini bahwa menghakimi, mengutuk, secara jelas bertentangan dengan keselamatan, dikaitkan dengan isi Matius pasal 7. Di dalam Yohanes 12:47, kita dapati bahwa Tuhan Yesus datang bukan untuk menghakimi tetapi untuk menyelamatkan. Di sini kita dapati ada perbedaan antara menghakimi dengan menyelamatkan, antara mengutuk dan menyelamatkan, antara mengucilkan seseorang dengan memaafkan dosanya. Kita lihat bahwa pada saat kita menghakimi, mengutuk seseorang, maka kita tidak sedang mempedulikan keselamatannya. Jadi semua itu menunjukkan kepada kita bahwa sikap kita terhadap saudara seiman tidak boleh dilandasi oleh pikiran bahwa kita lebih baik daripada mereka. Jika seorang pendeta merasa lebih baik daripada orang lain di dalam gereja, ia tidak layak menjadi pendeta. Di dalam pengertian mengutuk, tidak ada seorangpun yang diberi kewenangan untuk itu di dalam lingkungan jemaat. Namun di dalam pengertian menyatakan penghakiman berdasarkan firman Allah, kewenangannya diberikan kepada para hamba Allah. Akan tetapi sekalipun demikian, pelaksanaanya tidak pernah dilakukan di dalam semangat untuk mengutuk, melainkan untuk menyelamatkan. Jadi di dalam 1 Korintus 5, sebagai contoh, ketika Paulus menghukum orang tersebut dengan kebinasaan tubuh, tujuan akhirnya tetap agar supaya rohnya dapat diselamatkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Paulus dalam ayat yang sama. Tak seorangpun, tidak satu manusiapun diberi kewenangan untuk mengutuk atau menjatuhkan hukuman secara final, yang berarti memisahkan orang tersebut dari keselamatan.

Kasih kepada Diri sendiri Membutakan kita dari Kenyataan Hidup kita
Sejalan dengan penelaahan kita atas perkara sikap ini, kita sampai pada poin yang berikutnya, mengapa ada orang yang gemar mengutuk orang lain? Di sini Tuhan Yesus mengajukan pertanyaan yang sangat menarik dalam ayat yang ketiga. Tuhan Yesus mengajukan pertanyaan ini: mengapa kamu melihat selumbar di mata saudaramu tetapi balok di matamu sendiri tidak kau lihat? Ini adalah pertanyaan yang menarik, mengapa? Apa jawaban Anda terhadap pertanyaan ini? Mengapa kita begitu terampil dalam melihat kesalahan orang lain namun buta terhadap kesalahan sendiri? Lalu apa jawaban Anda terhadap pertanyaan Yesus ini? Jika Anda mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini, Anda akan mendapati bahwa Anda sedang disoroti oleh mata rohani yang sedang menyelidiki isi hati Anda.

Hal ini mengingatkan saya pada seorang wanita di Liverpool. Ada orang-orang yang sangat kritis dalam menanggapi segala sesuatu di dalam gereja dan Anda akan terbiasa berhadapan dengan mereka. Wanita ini mendatangi saya dan berkata, "Salah satu pimpinan di dalam gereja Anda terlihat sedang berjalan sambil bergandengan tangan dengan kekasihnya." "Benarkah begitu? Di mana hal itu terjadi?" tanya saya. "Oh, kejadiannya di salah satu pusat perbelanjaan. Bayangkan, seorang pimpinan gereja berjalan sambil bergandengan tangan dengan kekasihnya, Anda bisa bayangkan hal itu? Bagaimana mungkin orang seperti ini bisa menjadi pimpinan gereja?" Ini merupakan hal yang sangat menakjubkan. Saya belum melihat apakah bergandengan tangan seperti itu sudah merupakan hal yang berdosa. Apa lagi orang yang dimaksudkan itu sedang menjelang saat-saat pertunangan dengan kekasihnya. Akan tetapi wanita ini sudah langsung bereaksi keras karena perkara tersebut, mungkin dengan tujuan agar saya memecat pimpinan tersebut. Namun pribadi wanita ini sendiri, jika Anda meneliti kehidupannya, justru menimbulkan pertanyaan yang lebih serius ketimbang sekadar masalah bergandengan tangan. Ia sendiri sudah bercerai dari suaminya dan menjalani hidup serumah dengan seseorang tanpa kejelasan apakah mereka sudah menikah atau belum. Menurut beberapa laporan, mereka belum terikat dalam pernikahan. Saya tidak tahu kepastiannya dan saya masih belum meminta mereka untuk menujukkan surat nikahnya. Ia sendiri bercerai dan tinggal serumah bersama orang lain, tetapi masih berani datang kepada saya untuk mengecam orang lain yang berjalan bergandengan tangan. Dapatkah Anda membayangkan hal itu? Saudara-saudara sekalian, apakah Anda mengira bahwa Tuhan Yesus sedang membesar-besarkan masalah dalam membicarakan selumbar dan balok? Coba pikirkan hal ini, dalam contoh tadi kita melihat seorang dengan balok yang melekat di matanya sedang mengecam selumbar di mata orang lain. Apa yang akan terjadi dengan Anda jika ada balok yang melekat di mata Anda? Dapatkah Anda membayangkan hal itu? Anda akan menjadi buta, bukankah demikian? Anda tidak akan mampu melihat hal-hal apa pun. Lihat, orang ini, dengan balok yang melekat di matanya, mengecam selumbar di mata orang lain. Suatu hal yang sangat mengesankan!

Akan tetapi saudara dan saudari yang kedapatan berjalan sambil bergandengan tangan ini, keduanya sangat setia kepada Tuhan. Saya tidak menemukan alasan untuk meragukan kesetiaan mereka. Sedangkan terhadap wanita tersebut pertanyaan yang muncul justru sangat besar. Saya sangat mengenali kedua saudara tersebut, karena mereka sudah menyerahkan hidup mereka untuk melayani Tuhan sepenuh waktu, mereka tidak akan melakukan hal yang akan mempermalukan nama Tuhan terutama di tempat umum. Lebih baik mereka bergandengan tangan di muka umum ketimbang melakukan hal yang memalukan di tempat tersembunyi. Kedua orang ini sekarang sudah menikah dan melanjutkan pelayanan mereka dengan sangat setia. Dan bagaimana dengan wanita yang melontarkan kecaman itu? Ia tidak sering hadir di gereja. Jika hadir, itu pun hanya untuk melontarkan kecaman. Atau jika ia memberikan persembahan, ia akan memastikan bahwa semua orang melihat persembahannya. Dilambaikannya lembaran 5 pound sambil berkata, "Lihat, saya punya persembahan untuk gereja. Jangan beritahu siapa-siapa." Itu sebabnya mengapa Tuhan berkata, "Munafik! Kamu tidak melihat balok yang ada di matamu tetapi kamu merasa perlu untuk menolong orang lain". Kita memang masih belum menjawab pertanyaan Tuhan Yesus, mengapa kita begitu terampil mencari-cari kesalahan orang lain tetapi tidak melihat kesalahan besar di dalam diri sendiri?

Saya beritahu Anda sesuatu, jika Anda mendengar seseorang melontarkan kecaman, hal pertama yang dapat Anda lakukan adalah meneliti kehidupan orang itu. Dari pengalaman saya, saya mempelajari bahwa orang yang paling kritis adalah orang yang sedang menghadapi persoalan rohani yang paling parah dalam hidupnya. Orang-orang semacam ini masih belum, seperti yang sudah kita pelajari di dalam Matius pasal 6, membereskan hubungan mereka dengan Tuhan. Ada sesuatu yang sangat salah yang sedang terjadi dengan mereka. Tanpa ada kasih, yang hadir adalah sekadar kekritisan. Tanpa adanya kasih yang tulus, memang hanya kekritisan saja yang akan muncul. Jangan pernah percaya pada orang yang berkata kepada Anda, "Aku mengasihi kamu, itu sebabnya aku mengkritik kamu." Ini sepenuhnya adalah kemunafikan. Jangan percaya sepatah kata pun. Orang yang mengasihi Anda akan datang langsung kepada Anda dan berkata, "Saudara, engkau sudah melakukan hal ini, saya sebenarnya enggan mengatakan hal ini kepadamu, tetapi..." Dan ia tidak akan pernah mengatakan ketidak-setujuannya dengan Anda atau tentang kelemahan Anda kepada orang lain. Ia tidak akan pernah menyebarkan ketidak-puasannya dengan anda kepada orang lain. Anda adalah satu-satunya orang yang mengetahuhi hal itu. Itulah kasih! Ada orang yang berkata kepada Anda, "Saya tidak setuju dengan Anda", tetapi mereka tidak memberitahu apa yang tidak mereka setujui itu. Mereka membiarkan Anda menebak dalam kegelapan. Orang lain tahu bahwa ia tidak sepakat dengan Anda tetapi Anda sendiri tidak tahu mengapa. Itukah yang disebut kasih? Dalam pengertian apa? Ini adalah kemunafikan yang paling parah. Jadi Anda dapat melihat jika tidak ada kasih, maka watak pengecam akan hadir.

Perhatikan sepasang suami istri. Pada masa awal pernikahan mereka, oh betapa manisnya, bukankah demikian? Seperti surga di bumi, mereka bergandengan tangan setiap saat, saling menatap, sangat indah. Tunggu sampai dua tahun berlalu! Dan dalam kasus beberapa pasangan, Anda malah tidak perlu menunggu sampai dua tahun. Lalu apa yang terjadi? Mulai muncul pertengkaran kecil. "Mengapa kamu selalu melakukan hal seperti itu?" Lalu yang satunya menyahut, "Mengapa harus dengan cara lain?" Dan dimulailah perselisihan itu, selanjutnya Anda akan melihat pertengkaran mereka semakin sengit. Anda tahu mengapa? Itu karena landasan kasih yang sangat lemah. Saya harap setiap pasangan yang akan menikah benar-benar memastikan bahwa mereka memang saling mengasihi dan bukannya sekadar saling menyukai. Anda yang menjadi anak-anak dari pasangan seperti itu, atau memiliki kerabat maupun sahabat yang dasar pernikahannya seperti itu, tentu sudah pernah melihat perselisihan yang keras di antara mereka di saat kasih sudah memudar. Cinta memudar dan watak pengecam menjadi pembawaan kedua pihak, mengecam setiap saat. Komitmen asli mereka, cintanya sudah hilang. Yang tinggal hanyalah komitmen kepada diri sendiri. Saya akan memaksakan cara saya, itulah jalan yang harus dilakukan. Jika dua orang sudah mulai saling memaksakan kehendak, maka itu berarti akhir dari pernikahan mereka. Itu sebabnya mengapa di dalam 1 Korintus 13 dikatakan, "Kasih tidak mencari keuntungan sendiri, kasih tidak akan memaksakan kehendak ke atas orang lain". Kasih akan berkata, "Apa yang engkau inginkan?"

Kembali kepada pertanyaan, mengapa kamu melihat selumbar di mata orang lain? Jawabannya sekarang jelas, dan jawaban itu adalah karena Anda sebenarnya tidak pernah mengasihi orang tersebut sama sekali. Dan mengapa Anda tidak dapat melihat balok di mata Anda sendiri? Itu karena Anda mengasihi diri Anda sendiri. Pernahkah Anda memperhatikan, dalam pandangan seorang ibu yang menyayangi anaknya, si anak tidak pernah berbuat salah. Anak itu menabrak mobil orang lain, melakukan berbagai hal yang buruk, dan si ibu akan berkata, "Tidak mungkin, dia anak yang baik. Itu hanya sebuah kecelakaan." Ia tidak pernah memandang anaknya bersalah. Pada saat Anda mencintai seseorang sedemikian mesranya, segala perbuatannya akan terlihat benar di mata Anda. Itu sebabnya mengapa dikatakan "cinta itu buta". Buta, mereka tidak dapat melihat kesalahannya. Kasih seperti ini, jika Anda mengasihi diri Anda sendiri sedemikian rupa, Anda tidak akan dapat melihat kesalahan Anda sekalipun sebuah balok melekat di mata Anda, Anda tidak akan memperhatikannya. Karena Anda tidak mengasihi orang lain, maka semua kesalahan mereka akan langsung tampak. Anda menyayangi anak Anda, dia tidak pernah berbuat salah. Anak orang lain itulah yang berkelakuan buruk, orang tua mereka tidak tahu cara mendidik anak. Semua yang lain buruk, lihat anak saya, yang terbaik di dunia.

Kita Diharuskan untuk Mengasihi dan Bukannya untuk Mengecam
Jadi Anda dapat memahami sekarang mengapa Tuhan Yesus mengatakan hal ini. Alasan dalam menghakimi, alasan mengapa kita tidak boleh menghakimi karena hal itu mengobarkan sikap mengutuk yang tidak boleh ada dalam diri setiap murid dalam hubungan mereka dengan orang lain. Kita hadir di dunia ini untuk saling mengasihi dan bukannya untuk menempatkan diri di atas orang lain. Tetapi mungkin akan ada yang berkata, "Tetapi Anda sendiri mengatakan bahwa Tuhan Yesus tidak mengijinkan kita untuk membutakan mata terhadap dosa". Dan tidak ada satu orang pun yang tidak berdosa, jadi Anda merasa memiliki banyak amunisi. Tidakkah itu berarti bahwa saya boleh menatap ke arah orang lain dan berkata, "Aha, orang ini berdosa, saya akan mengecamnya"? Yesus berkata bahwa kita tidak boleh menutup mata terhadap dosa. Jadi bagaimana dengan dosa Anda sendiri? Jika Anda mendebat dengan cara ini, hal itu hanya menunjukkan sekali lagi bahwa Anda masih belum memiliki sikap yang benar. Sikap adalah titik awal. Anda dapat melihat hal itu di dalam cara orang bertutur kata terhadap Anda tentang hal-hal ini. Jika kita benar-benar mengasihi seseorang, kita tidak akan memiliki alasan untuk mengecam orang lain.

Jadi hal ini menjadi pokok yang sangat menarik bagi yang mempelajari teologi. Penganut aliran liberal adalah kelompok yang paling kritis. Mereka akan selalu siap untuk mengecam setiap orang. Kritik mereka pandang sebagai kebenaran. Mereka berpendapat bahwa orang yang belajar teologi berarti memasuki pelatihan untuk mengkritik. Jika Anda tidak mengkritik maka Anda bukanlah teolog yang baik. Dan apa yang mereka lakukan? Mereka mengkritik Paulus, mereka mengkritik Yohanes. Mereka berkata bahwa Paulus plin-plan di bagian ini dan bagian itu. Ini semua, mereka anggap sebagai tanda kecendekiawanan mereka, dengan cara itulah kita harus berbicara. Kenyataannya, di dalam pandangan kaum liberal, tidak ada satu orang pun yang tidak dapat dikritik. Setiap orang dikecam dengan berbagai cara, mulai dari para nabi sampai para rasul Perjanjian Baru. Semua orang dikritik. Teolog liberal merasa berhak mengkritik setiap orang. Dan sejujurnya saya katakan kepada Anda, sekalipun saya mempelajari buku-buku mereka, buku-buku penting yang mereka tuliskan, tidak jarang saya merasa muak sampai-sampai saya memberi catatan pinggir di dalam beberapa buku tersebut. Orang-orang ini merasa bahwa mereka lebih tahu dari Paulus, Yohanes, Yesaya maupun Yeremia. Mereka lebih tahu dari setiap orang. Hal yang paling disayangkan dari orang-orang seperti Paulus dan Yohanes adalah bahwa mereka tidak pernah mendapat kesempatan untuk duduk bersimpuh di kaki para teolog besar abad ke dua puluh ini. Seandainya saja mereka mendapat kesempatan itu, maka mereka akan menjadi lebih besar dari apa yang sudah ada, begitu menurut para teolog ini. Dan sekali kita melakukan hal yang seperti itu, Anda tidak akan terkejut jika saya berkata bahwa Anda akan mengkritik bahkan Yesus sendiri. Anda tidak dapat lagi melihat batasan, sekali Anda mengambil sikap seperti itu, di mana Anda akan berhenti?

Jadi saya beritahukan Anda, saudara-saudara, berhati-hatilah dalam menelaah ucapan Yesus dan sikap yang benar tidak akan membuat Anda merasa "Karena saya seorang teolog, seorang cendekiawan, maka tugas saya adalah mengkritik orang lain." Allah tidak pernah memberi Anda tugas seperti itu, jadi Anda boleh mempertimbangkan untuk berhenti melakukan tugas seperti itu. Di dalam Galatia 5:15, rasul Paulus mengingatkan jemaat di Galatia dengan kata-kata seperti itu. Ia berkata, "Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan". Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang di Galatia sudah jatuh dalam kesalahan yaitu tidak mendengarkan pengajaran Yesus ini. Mereka merasa bahwa mereka dapat mengkritik setiap orang. Itu tidak apa-apa, sudah tugas kita. Dan Paulus berkata, "Tetapi jikalau kamu saling mengigit dan saling menelan", artinya saling memakan, maka kamu semua akan menelan habis satu sama lain. Pada akhirnya tidak akan ada yang tersisa. Paulus berkata, "Jika kamu saling menggigit seperti hewan aduan, maka kamu akan saling memakan." Anda pikir, jika Anda masuk di tengah jemaat seperti ini, kesaksian macam apa yang dapat mereka tampilkan kepada orang Kristen yang baru atau kepada orang yang bukan Kristen? Jika kita mengasihi Allah, jika kita mengasihi umatNya, kita mengasihi jemaatNya, akankah kita datang ke gereja dan berkata, "Saya tidak setuju dengan kamu, Saya tidak setuju dengan kamu dan saya juga tidak senang orang itu? Kesaksian macam apa ini? Jika Anda tidak setuju dengan seseorang, datang dan berbicaralah kepada mereka, selesaikan persoalan tersebut dengan mereka. Anda tidak perlu menyiarkan perkara ini kepada setiap orang bahwa Anda sedang berselisih dengan seseorang. Apakah kita tidak mempedulikan ketenteraman orang Kristen yang baru dan orang non Kristen? Tidakkah Tuhan Yesus berkata, "Dengan inilah setiap orang akan mengetahui bahwa kamu adalah muridKu, bahwa kamu sekalian saling mengasihi." Dan kita sudah memahami bahwa di mana ada watak pengecam, maka tidak ada kasih.

SURGA SUNYI SENYAP



Wahyu 8:1-5

Jika seseorang ingin berbicara dengan Anda saat Anda menonton televisi, apa reaksi Anda? Tergantung. Apakah itu acara kesukaan Anda? Apakah suaranya terdengar? Yang paling menentukan, siapa yang memanggil? Seberapa penting ia bagi Anda? Apakah interupsinya meng-ganggu, atau justru menarik perhatian Anda? Itu terpulang pada tempat orang itu di hati Anda. Jika ia kekasih, Anda akan mengecilkan suara televisi-bahkan mematikannya, supaya ia mendapat perhatian Anda sepenuhnya.

Wahyu 5 melukiskan bagaimana surga dipenuhi puji-pujian bagi Anak Domba-Yesus Kristus. Penyembahan yang gegap gempita. Bahkan disuarakan seluruh makhluk dengan nyaring-paduan suara surgawi yang indah dan megah. Namun, ada saatnya-seperti tercatat di bacaan kita di pasal 8-surga tiba-tiba menjadi sunyi senyap (ayat 1). Paduan suara surgawi itu mendadak berhenti. Surga menjadi hening. Apa yang terjadi? Ternyata itu saat "dupa harum" (kemenyan) doa semua orang kudus naik ke hadirat Allah (ayat 3, 4). Perhatian surga sedang tertumpah penuh pada doa para kekasih Tuhan. Doa kita semua. Dalam kemuliaan-Nya, Dia mendengar doa kita.

Kadang kita letih dan jemu berdoa, karena tidak yakin apakah Allah mendengar atau peduli pada doa kita. Seberapa penting doa saya dibanding doa para tokoh iman? Mungkin sebaiknya saya minta rohaniwan mendoakan saya. Pasti doa mereka lebih didengar. Tidak! Setiap kita ada di hati-Nya. Anda penting bagi-Nya. Jika Anda berdoa, Dia sangat peduli. Bahkan, surga senyap tatkala bisikan doa Anda terucap. Miliki keyakinan itu ketika berdoa. Dan jangan jemu berdoa!


BAGI KEPENTINGAN TUHAN



Yohanes 9:1-7

Nick Vujicic, dilahirkan dengan cacat langka yang disebut tetra-amelia. Ia tak punya lengan mulai dari bahu, dan hanya memiliki satu kaki kecil dengan dua jari yang tumbuh dari paha kirinya. Di luar kekurangan itu, Vujicic sangat sehat. Namun, ketika sudah bersekolah, tak urung ke-kurangan fisiknya menjadi pusat olokan. Ia sampai memohon agar Tuhan menumbuhkan tangan dan kakinya. Namun, kondisi tak berubah. Ia pun depresi. Pada usia 8 tahun, ia pernah mencoba bunuh diri.

Pada waktu Tuhan yang tepat, ia dimampukan untuk memandang hidupnya secara baru: dalam kondisinya itu, Tuhan justru dapat memakainya menjadi inspirasi bagi banyak orang. Maka, ia menyerahkan hidup untuk melayani Tuhan di banyak negara. "Jika saya dapat memercayai Tuhan dalam keadaan saya, Anda pun dapat memercayai Tuhan dalam keadaan Anda, " simpulnya. Tuhan pun memampukannya meraih banyak pencapaian-bahkan dalam beberapa hal ia lebih baik daripada orang normal.

Vujicic memercayai rencana Tuhan yang baik baginya. Bahwa hidup bukan demi kepentingannya pribadi, melainkan kepentingan Tuhan. Apa pun kondisinya, ia dapat melayani Tuhan dengan cara dan kesempatan terbaik yang ia miliki. Pekerjaan Allah pun dinyatakan di dalam dia. Seperti yang Tuhan kerjakan dalam hidup Bartimeus yang buta sejak lahir. Tuhan dimuliakan lewat hidupnya. Kini giliran kita. Tujuan hidup kita pun bukan demi kenyamanan atau kesuksesan pribadi kita. Akan tetapi, untuk kemuliaan-Nya. Pandanglah hidup secara demikian. Maka, tak ada hidup yang tak berguna. Sebaliknya, setiap hidup dapat menjadi alat berharga bagi kemuliaan-Nya yang kekal.

MARI KITA MENSYUKURI BUMI



Kejadian 1:26-28

Sejak pembentukannya, bumi bergerak secara dinamis-walau sulit kita sadari dan amati. Pergerakan bumi menyebabkan terjadinya akumulasi kekayaan alam seperti mineral, minyak, gas bumi, dan panas bumi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Namun, dinamika bumi juga dapat berupa letusan gunung api, gempa, ataupun gerakan tanah (longsor) yang perlu diwaspadai.

Ketika Tuhan menciptakan bumi dan segala isinya, manusia diberi mandat untuk memenuhi dan menaklukkan bumi; berkuasa atas segala binatang di udara, darat, dan air (ayat 26, 28). Sayang sekali manusia kerap menerjemahkan mandat ini dengan mengeksploitasi bumi dan tidak memberi ruang bagi margasatwa untuk hidup damai di habitatnya. Manusia lupa bahwa ia diciptakan menu-rut gambar-Nya (ayat 27), bahwa Tuhan ingin manusia memelihara harmoni bumi dengan kasih.

Belajar dari sejarah bencana alam dan punahnya margasatwa di Indonesia, konsekuensi manusia menempati bumi haruslah diimbangi dengan kearifan, kepekaan, dan kecintaan terhadap alam. Biarlah setiap pelajar semakin terpacu untuk mempelajari geliat alam dan bagaimana bersahabat dengan alam. Biarlah setiap pengusaha tidak berlomba membetonkan hutan, tetapi memikirkan pemulihannya. Biarlah setiap petani dan peladang mengerjakan lahannya dengan baik dan tidak membakar hutan. Biarlah para guru mengajarkan berkat Tuhan yang besar pada alam Indonesia. Biarlah pengelolaan bumi dan kelangsungan hidup margasatwa dilakukan dalam semangat pemeliharaan Tuhan. Mari mensyukuri bumi dengan memeliharanya! --SL


YAKIN WALAU SENDIRI

1 Raja-raja 18:21-39

Pertarungan antara satu orang versus empat ratus lima puluh orang hendak digelar-untuk memenangkan hati sebuah bangsa. Sangat tidak imbang. Di atas kertas, yang satu orang tentu tak berdaya. Apalagi, bangsa yang diperebutkan sudah cenderung berpihak pada yang mayoritas.

Begitulah ketika Elia menantang 450 nabi Baal di gunung Karmel, untuk menunjukkan di hadapan bangsa Israel, siapa Tuhan. Apakah Baal, atau Allah Israel. Mereka sepakat mempersiapkan korban bakaran tanpa api, lalu masing-masing akan meminta api kepada kuasa yang mereka percayai sebagai Tuhan (ayat 23, 24). Sejak pagi, para nabi Baal mulai meminta api kepada allah mereka. Namun sampai petang, bahkan sampai mereka melukai diri "... tidak ada suara, tidak ada yang menjawab ..." (ayat 26).

Lalu ketika tiba giliran Elia, ia maju dengan keyakinan penuh. Walau sendirian, ia tahu Tuhannya hidup. Ia percaya Tuhannya adalah Tuhan yang benar. Ia tak ragu sedikit pun Tuhannya dahsyat. Itu sebabnya ia bahkan meminta orang menyiram potongan lembu korbannya dengan air-12 buyung penuh (ayat 34)! Dan, ia hanya perlu berdoa dengan lembut. Maka, Tuhannya yang hidup mendengar dan menjawab doanya dengan ajaib (ayat 38). Hingga seluruh Israel kembali sujud kepada Tuhan.

Keyakinan Elia kepada Tuhan tak digoyahkan oleh sedikitnya pendukung yang berpihak kepadanya. Tak dilemahkan oleh ancaman maupun tantangan yang menghadang. Keyakinan seper-ti ini dapat kita miliki juga bila jika mau terus bertumbuh dalam pengenalan yang benar akan Tuhan. Dengan terus setia mempelajari firman-Nya. Dan, dengan terus melibatkan Tuhan ketika menjalani hidup ini.

KITA HARUS YAKIN KITA BISA

Keyakinan adalah suatu sikap, suatu sudut pandang, cara berpikir Kita tentang sesuatu. Kita membentuk sikap melalui pengetahuan dan pengalaman. Lebih jauh, Kita bisa mengubah sikap Kita jika Kita memotivasi diri kita untuk melakukannya.

Mungkin Kita tidak menyukai seseorang karena suatu kebiasaan tertentu yang dimilikinya atau karena caranya berhubungan dengan orang lain. namun kemudian pendapat Kita berubah menjadi rasa hormat ketika Kita melihat perubahan dalam perilakunya. Apa yang terjadi ? Sikap Kita berubah, sikap Kita berubah karena orang itu berubah.

Jadi ini berkenaan dengan sikap Kita terhadap diri Kita sendiri. Sikap Kita juga bisa berubah jika Kita berubah. Namun Kita harus melakukan perubahan tersebut.

Apakah Kita berpikir bahwa Kita selalu tidak bahagia, kacau, tidak bisa memenuhi impian-impian Kita, selalu berada di bawah ? Sangatlah mudah untuk membuat kehidupan mengalahkan ? Kita, untuk menyerah, karena diperlukan upaya yang lebih besar untuk menjadi bahagia ketimbang sedih. Menjadi tertekan dan kecewa dan menyerah kepada rasa putus asa adalah hal-hal yang mudah untuk dilakukan, karena hal itu tidak memerlukan tindakan apa-apa, tidak memerlukan energi. Namun itukah yang Kita inginkan dalam hidup ini ? Apakah Kita bahagia dengan cara begitu ? Tentu saja Tidak ! Kita menginginkan peluang !

Peluang dimulai dengan sikap, dan peluang ada di mana-mana hanya jika kita mau menciptakannya. Namun sikap Kita haruslah positif jika Kita ingin menciptakan peluang

Fakta bahwa Kita melihat suatu kebutuhan akan pengembangan diri merupakan hal yang bagus karena

- Hal itu menunjukkan bahwa Kita jujur tentang diri kita sendiri

- Hal itu menunjukkan bahwa Kita berharap mempunyai sikap merasa aman dan percaya diri

- Hal itu menunjukkan bahwa Kita mempunyai keinginan untuk berkembang, untuk menjadi orang yang lebih baik.

Dan sekarang Kita bisa melakukan sesuatu untuk menghasilkan sikap yang baru ini. Langkah pertamanya adalah mempercayai diri Kita sendiri.


http://bit.ly/kv9jAL


TEMPAT TERAMAN



Cucu : "Nek, di mana tempat menyimpan uang paling aman ?

Nenek : "Di dalam Alkitab, Cu."

Cucu : "Mengapa ?"

Nenek : "Karena orang yang suka membaca Alkitab tidak akan mencuri, sedangkan orang yang suka mencuri, tidak akan membaca Alkitab."



http://bit.ly/mDHSFS